BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
ijma'
Ijma'
menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal,
seperti perkataan seseorang (
) yang berati "kaum
itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu."

Menurut
istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh
ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada
waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma'.
2.
Dasar
Hukum Ijma'
Dasar
hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a.
Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara
kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan
amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau
urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri
dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang
ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari
ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang
sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu
hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai."
(Ali Imran: 103).
Ayat
ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali
bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma'
(bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:

Artinya: "Dan barangsiapa yang
menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115).
Pada
ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan
orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat
diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang
tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke
dalam neraka."
b.
AI-Hadits
Bila
para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa
atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c.
Akal
pikiran
Setiap
ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas
asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan
dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad
dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh
melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya
jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan
dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah
umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti qiyas, istihsan dan sebagainya.
Jika
semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad
yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan
al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika
seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian
pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang
sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.
Rukun-Rukun
Ijma'
Dari
definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan
rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
a) Harus
ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid
itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya
tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah
tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
b) Yang
melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada
suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu
ijma'.
c) Kesepakatan
itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa
yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu
unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan,
sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau
dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum
yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang
terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para
mujtahid.
d) Kesepakatan
itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada,
maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian
belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
4.
Kemungkinan
terjadinya ijma'
Jika
diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas
tiga periode, yaitu:
- Periode Rasulullah SAW;
- Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
- Periode sesudahnya.
Pada
masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau
kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan
dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak
menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada
Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat
al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak
perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang
mereka alami.
Setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun
mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits.
Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka
berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'.
Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah
Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada
perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum
begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang
sebagai mujtahid.
Setelah
enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala
perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman
mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam
pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di
kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi
Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij,
golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan
perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah,
semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam
terkuras dan habis karenanya.
Disamping
itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang)
sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia,
Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar
melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1) Ijma'
tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2) Ijma'
mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan
enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua
pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai
dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim
yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada
masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau
suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama
Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut
sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau
undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya
beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan
oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum
muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat
dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa
setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat
dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika
demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil
oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan
masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri
sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul
halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan
rakyat mereka.
Hal
yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang
yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa
orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan
permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan.
Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi
nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5.
Macam-Macam
Ijma'
Sekalipun
sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab
fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu
dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa
macam.
Ditinjau
dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a) ljma'
bayani,
yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa
ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli
atau ijma' haqiqi;
b) Ijma'
sukuti,
yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat
dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan
reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang
hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau
dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
a) ljma'
qath'i,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya,
tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
b) ljma'
dhanni,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam
kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan
masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu
ialah:
a) Ijma'
sahabat,
yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
b) Ijma'
khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh
Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini
hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa
Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak
dapat dilakukan lagi;
c) Ijma'
shaikhan,
yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
d) Ijma'
ahli Madinah,
yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah
merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab
Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
e) Ijma'
ulama Kufah,
yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan
ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
6.
Obyek
ijma'
Obyek
ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn
al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat
ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang
mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar